Kamis, 14 Januari 2010

Seharusnya Pak Menteri Pakai Mobil Hybrid?

2:08 pm bisnis

Oleh : Rizka Sasongko Aji

OTOMOTIFNET - Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB) baru sudah terbentuk. Ada 34 menteri plus 3 pejabat tinggi negara setingkat menteri yang bakal menjalankan roda pemerintah untuk lima tahun mendatang.

Kabarnya bakal dibekali Toyota Crown Majesta. Mobil yang di Jepang, bila dirupiahkan harganya menjadi Rp 660-749 juta itu, bakal menemani perjalanan dinas menteri saban harinya.

Nah, perihal mobil ini, sepertinya pemerintah belumlah sensitif terhadap isu yang berkembang. Mulai dari tampil bermewah-mewah, sampai sensitif terhadap persoalan lingkungan dan penghematan.

Makanya, alangkah baiknya bila para menteri yang menjadi simbol pemerintahan, mengadaptasi mobil yang ‘cerdas’; hemat bahan bakar, ramah lingkungan, tetap ber­teknologi tinggi namun bisa diterima oleh rakyat. Yakni mobil hybrid.

GOODWIL

Meski mobil hibrida yang dijual di Tanah Air tidaklah banyak. Sampai saat ini, baru Toyota Prius Generasi III saja yang resmi dijajakan. Sebelumnya ada Honda Civic IMA, tetapi dijual terbatas. Namun begitu, ada sejumlah argumen yang bisa dijadikan pertimbangan mengapa menteri sebaiknya memakai mobil hibrida ketimbang sedan sekelas Crown Majesta.

Yaitu perihal ongkos bahan bakar dan daya tarik investasi. Diihat pada sisi ini, antara Toyota Crown Majesta dengan mobil hibrida, dalam hal ini Toyota Prius Gen III, untuk konsumsi bahan bakarnya jauh lebih irit Toyota Prius.

Dari spesifikasi teknis sudah terlihat. Sama-sama menggunakan mesin masa kini, yang artinya memakai bensin sekelas Pertamax Plus (angka oktan 95) seharga Rp 6.500 per liter (harga 23 Oktober 2009), tetapi konsumsi Prius untuk di dalam kota 1 liter bisa menempuh 17 km. Sedangkan luar kota, mobil bermesin listrik dan konvensional 1.800 cc itu per 1 liter bisa menempuh jarak 20 km (hasil uji OTOMOTIF edisi 19, September 2009).

Sementara untuk Crown Majesta, dengan mesin 4.600 cc berkonfigurasi V8, tentu mengonsumsi BBM lebih banyak ketimbang Prius. Sejumlah situs di internet menorehkan untuk mesin 4.600 cc, konsumsi BBM sekitar 1 liter untuk 6-7 kilometer. Nah, andaikata setiap menteri melakukan perjalanan saban hari antara 40 km, bila memakai Prius hanya menghabiskan 2-3 liter Pertamax Plus.

Sedangkan bila memakai Majesta kurang lebih 6 liter. Artinya ada selisih 3 liter. Bila dikalikan harga Pertamax Plus Rp 6.500, setiap hari terjadi pemborosan sebanyak Rp 19.500/ hari.

Andai per menteri melakukan perjalanan selama 25 hari per bulan dalam 5 tahun pemborosan menjadi Rp 29.250.000. Itu baru satu menteri. Jika ditotal 34 menteri plus 3 pejabat setingkat menteri maka akan terjadi pemborosan Rp 1.082.250.000. Kecil? Boleh jadi itu yang terlihat

Tetapi, yang lebih penting lagi, bukanlah angka itu. Menteri yang gajinya Rp 16 juta dengan tunjangan Rp 200 juta per bulan itu adalah simbol dari sistem pemerintahan. Bila para menteri itu memakai mobil ramah lingkungan, tentu memberi image positif buat pemerintahan saat ini mata dunia industri otomotif.

Ini lantaran, dunia sedang disibukkan dengan membuat mobil efisien dan ramah lingkungan. Selain itu, fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung semakin meningkat dan tak bisa ditebak, membuat dunia otomotif mulai berlomba mengembangkan mobil-mobil hemat bahan bakar dan ‘hijau’. Perlombaan itu, pun ‘menyeret’ pabrikan-pabrikan besar untuk memproduksi mobil yang sedikit mengonsumsi BBM namun tetap nyaman dikendarai.

Mulai mobil hibrida hingga mobil listrik. Seperti yang dilakukan Chevrolet yang memproduksi Voltz, begitupun dengan Toyota dan Honda yang punya rencana besar dengan mobil hibrida.Lantas, apa hubungannya dengan menteri kabinet bermobil hibrida. Sekali lagi, menteri adalah simbol negara. Bila mereka menggunakan mobil hibrida, tentu hal ini menunjukkan goodwil pemerintah dalam mendukung pemakaian kendaraan ramah lingkungan.

Bukan hanya perihal ‘hijaunya’ kabinet, tetapi sebagai sebuah dorongan untuk industri otomotif. Mengingat, hingga kini departemen perindustrian sudah mempersiapkan skema insentif untuk produksi eco car. Hampir mirip dengan Thailand, skemanya juga memberi keringanan pajak buat siapapun pabrikan yang bisa memproduksi dengan kuota tertentu mobil di bawah 1.500 cc.

Artinya, bila seluruh menteri yang berada di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu, benar-benar bersatu untuk setiap langkah antardepartemen, tentu untuk membangkitkan program industri otomotif Tanah Air bisa segera terwujud.

Seperti industri lain, efek bola salju dari bangkitnya industri otomotif, bisa menyeret industri-industri lainnya. Mulai industri plastik, baja, hingga sektor-sektor informal lain.

Kalau sudah begitu, kerja menteri pun semakin nyata terlihat. Menyejahterakan rakyat banyak dengan tindakan nyata. bukan sekadar wacana saja. Bukan begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar